Kebenaran tak keluar
huruf-huruf kakak tua ngobrol,
dongeng mengisi dada-dada
mengolah fikiran jadi titik berhenti
kurang menyoal, lebih menerima
tanpa tanya -- daya mati
sudah sekian lama bukan berita lagi
aduh dan keluh yang basi
menu nombor satu hingga menjilat jari
daya hidup longlai
langit dalam kembali temaram
ada lagi mimpi menahan perut terburai
novel politik, mikrofon berkuasa
topeng-topeng afrika
ikan-ikan sardin terjepit
lemas nafas mengumpul rimas
di kota murba jadi aspal buat pijakan
kaki-kaki gajah
percikan di dinding-dinding batu
seperti lukisan avant garde
sukar dimengerti tentang marah yang tak terluahkan
hanya bisa halkum menghamili bungkam
tatkala hari-hari berlalu berkisar debu
mereka mengenakan wajah lain yang dungu
sambil duduk di trotoar peradaban melihat
anjing-anjing ngomong kasar di papantanda
menyalak jantung jadi kecut
keberanian pupus ke dalam perut
jantanpuisi dikasi, kesaksian di jeriji besi
berbini beranak sunyi di padang pertiwi
iada lagi suara-suara
perkarangan saling paling-berpaling,
melempar jauh pandang antara mereka
kosong dan hampa
tidak lagi menggugah tindak
berkarat keris tertinggal dilumpur budaya
terus melewati detik-detik
merasmi warna masa depan
dalam kelam kelabu asap
bergerak di bumi lindap
menghempas tulang empat kerat
melolong sukma di pinggang merana
menggelegak kerajaan hati
menekan-mendesak diam yang panjang
ia gunung mengandung dendam
membenih pilu di relung jiwa
nama-nama yang jenuh
makan hati berulam jantung
udara panas, udara selasa
monolog tak keruan akan merusuh
pada hari kebebasan
terbang ke langit tindak dan kata
menjadi nyali yang nyala
pejuang dari ribut dan lahar